Adikarya ParlemenParlemen

Sinkronisasi Antara Kebijakan Pusat dan Daerah Terkait RTRW

ADIKARYA PARLEMEN

BANDUNG, elJabar.com – Pemerintah Pusat telah telah melahirkan banyak produk perundang-undangan pasca terbitnya sejumlah Perda di banyak daerah provinsi, kabupaten dan kota. Diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK).

Seperti yang kita tahu, Undang-Undang tersebut lebih dikenal sebagai omnibus law dan sederet aturan yang menyertainya, semisal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Disamping itu, ada pula Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2021 Tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan.

Dan sebelumnya menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat Kasan Basari, ada Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Dalam UUCK mengamanatkan adanya penggabungan Perda RTRW dan Perda Rencana Zonasi dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Jawa Barat juga sudah memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2019 tentang RZWP3K.

Dengan amanat UUCK, berarti Perda Jabar Nomor 10/2010 tentang RTRW dan Perda Nomor 5/2019 tentang RZWP3K harus digabungkan. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Jabar pun sudah membuat perda baru.  Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang RTRW, waktu jangkauan perdanya menjadi 2022-2042.

“Dalam Perda tersebut, tentunya banyak hal lain yang harus dibahas dengan penggabungan dua perda. Tentunya juga banyak isu strategis yang memang harus mendapat perhatian, karena menyangkut perencanaan tata ruang wilayah dan perencanaan zonasi wilayah pulau-pulau kecil dan pesisir,” jelas Kasan Basari, kepada elJabar.com.

Isu lain yang tak kalah menarik, misalnya bagaimana dengan rencana Bandara Cikembar di Kabupaten Sukabumi. Pada pembahasan Raperda RTRW tahun 2019, ada pertanyaan yang belum terjawab.

Mengapa bergeser dari Citarate? Padahal Jabar sudah memutuskan bandara di Sukabumi itu ada di Citarate. Lagipula, bagaimana penanganan obstacle yang ada?

“Sedangkan Cikembar berada di antara menara sutet dan bukit. Dimana secara teknis, celah untuk melakukan manuver hanya sekitar 150 meter saja. Jika sayap pesawat rentangnya mencapai 60 meter, berarti hanya ada celah kiri-kanan 45 meter saja,” ungkapnya.

Kemudian bagaimana pula nasib Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B)? Bagaimana menentukan luasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)? Bagaimana kaitannya dengan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD)?

Sedangkan rekapitulasi Pemprov Jabar hanya 730.898,31 hektare, itu pun baru 2 kabupaten saja yang sudah ada SK kepala daerahnya. Sedangkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1589/2021 menyebutkan bahwa LSD Jabar sekitar 878.587,73 hektare.

“Cukup signifikan, ada perbedaan sekitar 140.000 hektare. Padahal dengan KP2B tersebut, Jabar baru memiliki sekitar 21% dari target kewajiban 30%,” ujarnya.

Masih banyak isu lain yang menjadi pembahasan oleh Pansus RTRW. Termasuk persoalan yang berkaitan dengan  Transit Oriented Development (TOD) Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

Hal ini berkaitan dengan difungsikannya TOD Padalarang. Di sisi lain TOD Walini ditunda lebih dahulu pembangunannya. TOD Tegalluar juga penyelesaiannya dilakukan paralel, tetapi belum difungsikan.

Kemudian ada juga pembahasan seputar rencana pembangunan beberapa ruas jalan tol. Selain itu, ada isu seputar tanah timbul dan lahan yang justru hilang akibat abrasi. Lahan-lahan seperti itu jumlahnya tidak sedikit, sehingga butuh penyikapan.

“Ini semua pastinya berkaitan dengan indikasi arahan zonasi, serta berpengaruh pada rencana struktur dan rencana pola ruang dalam RTRW Provinsi Jabar yang sedang disusun. Padahal kita semua juga tahu bahwa ketika ada proyek strategis nasional (PSN), semua harus diakomodir. Itu juga pasti akan menggerus angka-angka tersebut,” pungkasnya. (muis)

Show More
Back to top button