ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan 251 desa sebagai desa wisata. Mungkin jumlah tersebut masih terlalu sedikit dari sekitar 5.300 desa yang tersebar di 27 kabupaten/kota. Hal itu bisa dimaklumi, karena begitu beragamnya suku bangsa yang ada di Jawa Barat. Tentu saja salah satu akibatnya adalah kemunculan beraneka ragam budaya yang ada.
Pengembangan desa wisata menurut Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jawa Barat, Daddy Rohanadi, haruslah dilakukan untuk memberdayakan masyarakat sebagai langkah pemulihan ekonomi di bidang industri pariwisata. Desa wisata juga ditetapkan karena dinilai memiliki potensi untuk semakin banyak mendatangkan wisatawan.
Ada beberapa kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang desa yang akan dijadikan desa wisata. Desa yang bisa menjadi desa wisata harus memiliki potensi wisata yang dapat dimanfaatkan sebagai atraksi wisata, memiliki aksesibilitas, dan sudah memiliki aktivitas wisata, atau berada dekat dengan aktivitas wisata yang sudah ada dan terkenal.
“Jika semua kriteria itu terpenuhi, niscaya semua potensi itu akan dilirik dan menarik para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara,” ujar Daddy Rohanadi, kepada elJabar.com.
Semangat tersebut dituangkan dalam Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Desa Wisata dan ditetapkan pada 13 April 2022. Perda tersebut hanya salah satu saja dari 500 lebih perda yanga ada di Provinsi Jabar.
Peraturan Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Desa Wisata mengatur tentang ketentuan umum, pemetaan, pengembangan potensi, dan pencanangan desa wisata, pemberdayaan desa wisata, dukungan penyediaan infrastruktur desa wisata, sistem informasi desa wisata, kerja sama dan sinergitas, pemberian penghargaan, pembentukan forum komunikasi desa wisata, partisipasi masyarakat dan dunia usaha, pembinaan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota, pengawasan, pembiayaan, ketentuan penutup.
“Andai itu terjadi, roda perekonomian desa tersebut maupun Jabar secara keseluruhan pun pasti terungkit. Kesejehteraan masyarakat desa wisata tersebut akan meningkat. Ujungnya, kesejahteraan dan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat pun kian terangkat,” jelasnya.
Khusus terkait dengan Kabupaten Cirebon, kabupaten yang terdiri dari 40 kecamatan, 412 desa dan 12 kelurahan itu memiliki beragam budaya dan situs peninggalan sejarah yang dapat “dijual” kepada para wisatawan. Dengan demikian, tidak aneh jika di Kabupaten Cirebon banyak desa yang “layak jual”.
Kabupaten Cirebon memiliki wisata religi di Kecamatan Gunungjati dan Kecamatan Talun. Adapula wisata belanja di Desa Trusmi yang merupakan pusat batik Cirebon. Adapula wisata kuliner di seputaran Kecamatan Talun dan Kecamatan Beber.
Adapun Desa Sitiwinangun di Kecamatan Jamblang merupakan salah satu desa yang jarang tersorot. Padahal di Desa Sitiwinangun terdapat kerajinan gerabah yang dipelihara secara turun-temurun. Gerabahnya pun memiliki kekhasan. Selain itu, Desa Sitiwinangun letaknya tidak jauh dari pusat batik Trusmi. Dengan demikian, Desa Siitiwinangun merupakan salah satu desa wisata yang sangat “layak jual”.
“Sebenarnya, semua potensi itu tanpa makna jika tidak ‘dimanfaatkan’. Dengan kata lain, semua potensi itu harus dioptimalkan ‘penjualannya’,” pungkasnya. (muis)