Wacana Pemekaran Jawa Barat Menjadi Lima Provinsi: Ide Memecah Belah Kesundaan dan Cermin Ketidakmampuan Politik Elit

Oleh : Dani Dardani
Gagasan pemekaran Provinsi Jawa Barat menjadi lima provinsi kembali mencuat ke permukaan dalam beberapa waktu terakhir. Dalih yang dikemukakan adalah untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik, mempercepat pembangunan daerah, dan pemerataan kesejahteraan. Namun, di balik narasi normatif tersebut, banyak pihak menilai bahwa gagasan ini justru menyimpan agenda tersembunyi yang berbahaya: melemahkan identitas kolektif masyarakat Sunda, memecah kekuatan politik masyarakat Jawa Barat, dan mencerminkan kegagalan elit politik dalam menghadapi dinamika kontestasi elektoral, terutama menjelang Pilgub Jawa Barat yang semakin panas dengan meningkatnya popularitas Dedi Mulyadi.
Gagasan Pemekaran: Wacana Lama dengan Motif Baru
Wacana pemekaran wilayah bukan hal baru di Indonesia. Sejak era reformasi, pemekaran daerah menjadi salah satu strategi yang digunakan untuk mempercepat pembangunan dan mengakomodasi aspirasi lokal. Namun, dalam konteks Jawa Barat, wacana ini harus dibaca secara lebih hati-hati karena melibatkan dimensi identitas kesukuan, sejarah kebudayaan, dan politik elektoral yang kompleks.
Jawa Barat bukan hanya sebuah wilayah administratif; ia adalah pusat kebudayaan Sunda, identitas etno-kultural yang telah bertahan selama berabad-abad. Pemecahan provinsi ini menjadi lima entitas administratif akan melemahkan kesatuan budaya Sunda, karena setiap provinsi baru akan cenderung membangun identitas administratif yang lebih kuat dibandingkan identitas kultural yang telah ada sebelumnya.
Memecah Belah Kesundaan
Salah satu kekhawatiran utama dari wacana pemekaran ini adalah dampaknya terhadap kesatuan dan kesinambungan budaya Sunda. Selama ini, Provinsi Jawa Barat menjadi payung utama dalam menjaga, mengembangkan, dan merepresentasikan budaya Sunda di kancah nasional. Dengan adanya lima provinsi baru, akan muncul fragmentasi identitas. Tiap-tiap wilayah akan sibuk membangun simbol, ikon, dan struktur budaya lokalnya sendiri, yang dapat menyebabkan pudarnya semangat kolektif sebagai urang Sunda.
Lebih jauh, pemecahan ini berpotensi mengaburkan narasi sejarah Sunda sebagai satu kesatuan. Jika sebelumnya masyarakat Ciamis, Cianjur, Garut, Subang, dan Bogor merasa bagian dari satu provinsi yang sama, maka ke depan mereka bisa merasa sebagai entitas berbeda, dengan loyalitas yang lebih terpecah. Ini adalah bentuk disintegrasi kultural yang tidak kasat mata, tapi sangat berbahaya dalam jangka panjang.
Ketidakpahaman Sejarah: Mengabaikan Akar Kebudayaan Sunda
Elit yang menggulirkan wacana pemekaran ini tampaknya tidak memahami sejarah panjang Jawa Barat dan kebudayaan Sunda. Kerajaan-kerajaan seperti Pajajaran, Galuh, dan Tarumanagara menunjukkan bahwa wilayah yang kini menjadi Jawa Barat pernah menjadi satu kesatuan politik dan budaya yang kuat dalam sejarah Nusantara.
Pemekaran administratif secara drastis tanpa mempertimbangkan sejarah dan budaya hanya akan memisahkan orang-orang yang sebenarnya berasal dari akar sejarah dan nilai-nilai yang sama. Ini bukan sekadar soal pembentukan provinsi baru, tetapi soal bagaimana sejarah direduksi menjadi sekadar peta administratif, tanpa mempertimbangkan makna simbolik dan identitas yang terkandung di dalamnya.
Ketidakmampuan Elit Politik Jawa Barat
Alih-alih berfokus pada peningkatan kualitas pemerintahan dan pelayanan publik di bawah struktur yang ada, elit politik Jawa Barat justru memilih jalan pintas berupa pemekaran wilayah. Ini menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memaksimalkan potensi daerah yang sudah ada. Jika pembangunan dan pemerataan menjadi alasan, mengapa tidak memperkuat pemerintahan desa dan kabupaten terlebih dahulu? Mengapa harus langsung memekarkan provinsi?
Jawabannya kemungkinan besar terletak pada kepentingan politik elektoral.
Popularitas Dedi Mulyadi yang terus meningkat menjelang Pilgub Jawa Barat 2029, serta hampir merata diseluruh wilayah Jawa Barat, menjadikan lawan-lawan politiknya mulai mencari cara dengan memecah provinsi. Sehingga ada peluang besar untuk naik ke level kursi gubernur di lima provinsi. Sehingga tidak perlu bersusah payah lagi untuk bersaing dengan kekuatan Dedi Mulyadi yang kuat di hampir seluruh wilayah Jawa Barat.
Ini adalah bentuk ketakutan politik yang dibalut dengan dalih pembangunan. Ketika seorang tokoh mulai mengancam dominasi politik mapan, maka dibuatlah skenario untuk melemahkannya secara struktural. Pemekaran provinsi bukanlah jawaban atas problem pembangunan, melainkan siasat untuk menghambat seseorang mencapai kekuasaan yang sah secara demokratis.
Popularitas Dedi Mulyadi dan Ketidaksiapan Elit Menyaingi Figur Kuat
Dedi Mulyadi telah muncul sebagai salah satu tokoh paling populer di Jawa Barat dalam beberapa tahun terakhir. Gaya komunikasinya yang membumi, narasi kebudayaan Sunda yang diusungnya, serta kiprahnya sebagai pemimpin daerah yang inovatif membuatnya dicintai rakyat kecil. Kehadiran Dedi Mulyadi menjadi ancaman serius bagi elit politik lama yang selama ini mengandalkan patronase dan struktur birokrasi untuk mempertahankan kekuasaan.
Alih-alih bersaing secara sehat dalam kontestasi politik, para elit tersebut memilih merusak papan permainan. Ini adalah bentuk ketidakdewasaan politik yang justru menunjukkan lemahnya kapasitas mereka untuk bertarung di arena demokrasi yang terbuka. Ketika mereka tak mampu menghadapi kekuatan rakyat yang tersimbolkan dalam figur seperti Dedi Mulyadi, mereka justru mencoba mengubah peta politik melalui pemekaran.
Potensi Konflik Horizontal dan Birokratisasi Baru
Pemekaran wilayah dalam konteks sosial seperti Jawa Barat juga berisiko memicu konflik horizontal, terutama jika dilakukan tanpa kajian yang mendalam dan tanpa melibatkan masyarakat secara menyeluruh. Perselisihan antar daerah mengenai batas wilayah, sumber daya alam, hingga perebutan ibukota provinsi baru bisa menjadi pemicu instabilitas sosial yang berkepanjangan.
Selain itu, pemekaran akan menciptakan birokrasi baru yang justru memperbesar anggaran belanja pegawai dan memperkecil belanja pembangunan. Pengalaman dari banyak daerah otonomi baru di Indonesia menunjukkan bahwa pemekaran tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan rakyat. Justru yang terjadi adalah membengkaknya anggaran untuk gaji dan operasional pemerintahan baru, sementara infrastruktur dan layanan publik tetap tertinggal.
Agenda Tersembunyi di Balik Pemekaran
Ada kemungkinan besar bahwa gagasan pemekaran ini bukan berasal dari kehendak rakyat, melainkan dari elit politik yang ingin memecah kekuatan politik tertentu. Jika benar demikian, maka ini adalah bentuk manipulasi demokrasi yang harus ditolak. Demokrasi seharusnya menjadi alat untuk memperkuat rakyat, bukan justru dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu.
Dalam konteks ini, masyarakat Jawa Barat harus lebih kritis dalam membaca isu-isu politik yang berkembang. Jangan sampai terjebak dalam narasi pembangunan yang sebenarnya merupakan kamuflase dari kepentingan segelintir orang. Pemekaran harus dilihat bukan hanya dari segi administratif, tetapi juga dari segi budaya, sejarah, dan masa depan kolektif masyarakat Sunda.
Kesimpulan: Menolak Pemekaran Demi Menjaga Kesatuan Sunda
Gagasan pemecahan Provinsi Jawa Barat menjadi lima provinsi bukanlah solusi atas persoalan yang ada. Sebaliknya, itu adalah bentuk dekonstruksi terhadap identitas Sunda yang telah terbangun ratusan tahun lamanya. Selain berisiko memecah belah kesundaan, gagasan ini juga mencerminkan ketidakmampuan elit politik dalam menghadapi dinamika kontestasi demokrasi secara sehat.
Masyarakat Jawa Barat perlu menolak wacana ini dan menuntut perbaikan tata kelola pemerintahan yang ada saat ini. Jika pembangunan belum merata, solusinya bukan memecah provinsi, melainkan memperbaiki manajemen dan keberpihakan anggaran.
Jika ada ketimpangan, maka perlu ada keberanian untuk melakukan reformasi birokrasi dan sistem pengawasan, bukan justru membentuk pemerintahan baru yang berpotensi menambah masalah.
Kesundaan adalah warisan sejarah yang terlalu mahal untuk dikorbankan demi kepentingan politik jangka pendek. Sudah saatnya masyarakat Jawa Barat bersatu mempertahankan identitasnya, melawan manipulasi politik, dan menjaga integritas budaya Sunda untuk generasi yang akan datang. ***
(Penulis, Pendiri Yayasan Saung Awi – Kab. Bandung)