Jangan Biarkan Problem Penambangan Menjadi Area Konflik

ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Dalam Peraturan Perundang-Undangan, pertambangan merupakan sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
Biasanya peran pemerintah, baik pusat maupun daerah sebagai stakeholder dalam menangani permasalahan lingkungan, pelaksanaannya masih lemah. Pemerintah lebih terfokus pada upaya menaikan pendapatan asli daerah, serta tidak terlalu memperdulikan permasalahan lingkungan lainnya.
Hal tersebut menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, Ir. Prasetyawati, yang menyebabkan terjadinya konflik hampir di semua kawasan pertambangan. Pemerintah seharusnya dapat memandang fenomena konflik sosial yang akan muncul dan langsung melakukan aksi pencegahan.
“Selain masih lemahnya tindakan tegas dari pemerintah, juga munculnya konflik ini terjadi dikarenakan pertambangan sering tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah perencanaan kegiatan pertambangan,” ujar Prasetyawati, kepada elJabar.com.
Banyak perusahaan penambangan yang tidak memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga dianggap sebagai penambang illegal. Padahal usaha kegiatan pertambangan telah ditegaskan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. P38 Tahun 2019 pasal 3 ayat (1), bahwa setiap rencana usaha dan atau/kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
Penambangan galian pasir ataupun batuan lainnya sangat mengganggu kesehatan dan kualitas lingkungan setempat. Kerusakan lingkungan yang sangat mengkhawatirkan, memang bukan merupakan masalah satu-satunya yang terjadi akibat penambangan.
“Namun juga, dampak aktivitas penambangan bisa menyebabkan adanya gesekan masyarakat dan berpotensi terjadinya konflik horizontal di masyarakat. Jangan biarkan aktivitas penambangan ini menjadi area konflik antar masyarakat,” tandasnya.
Pembebasan lahan merupakan kegiatan membeli atau alih hak tanah dari negara atau masyarakat sebagai pemilik hak, yang dilakukan oleh perusahaan yang mau melakukan penambangan.
Status kepemilikan atau penguasaan lahan yang akan ditambang, itu menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh perorangan atau perusahaan yang akan melakukan aktivitas penambangan.
“Sehingga status lahan memiliki posisi yang jelas, sebelum melanjut ke pemenuhan persyaratan lainnya. Akibat status penguasaan atau kepemilikan lahan yang tidak jelas ini, konflik sosial maupun konflik hukum bisa terjadi,” jelasnya.
Pemerintah dalam hal ini dinas terkait, harus jeli dan hati-hati dalam memberikan ijin penambangan. Baik yang menyangkut masalah dampak lingkungan, maupun terkait status kepemilikan atau penguasaan lahan.
Terekait asal usul dan status lahan penambangan ini menjadi permasalahan serius. Ini bukan hanya persoalan berpotensi akan memunculkan konflik sosial maupun akan berdampak pada tanggungjawab kondisi lingkungan kedepannya saja, melainkan ada praktek yang tidak sehat dalam cara memiliki atau penguasaan lahan.
“Tentunya praktek tidak sehat ini melibatkan banyak pihak. Melibatkan oknum-oknum yang ada dalam lingkaran intansi proses pengurusan lahan dan penambangan,” tandas Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jabar ini.
Persoalan tambang adalah persoalan yang kompleks, termasuk dalam legalitas status lahannya tadi. Tidak sedikit oknum yang bermain dalam aktivitas penambangan tersebut.
Bahkan sangat parah lagi, apabila ada tanah negara yang sedang digarap oleh masyarakat atau lahan tersebut menjadi kawasan hutan hijau untuk keseimbangan alam, lantas pengusaha tambang dengan sejumlah oknum “menyulapnya” untuk bisa dapat menguasai dan mendapatkan ijin operasional penambangan.
“Sehingga dibutuhkan pengendalian dan pengawasan yang ketat, supaya tidak terjadi salah kaprah dalam penguasaan lahan penambangan. Tidak terjadi kerusakan pada alam, dan hilangnya hak garap masyarakat,” pungkasnya. (muis)