ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Berbicara seputar pertanian, memang persoalan yang cukup pelik dan sangat kompleks. Mengingat masalah pertanian banyak terkait banyak hal. Terkait persoalan regenerasi pertanian, bukan saja pada persoalan lahan, tapi juga pada sumber daya petaninya itu sendiri.
Pemprov Jawa Barat telah membuka program Petani Milenial sekitar pertengahan tahun 2021 yang lalu. Tentu saja program ini merupakan langkah positif, mengingat Jawa Barat sedang krisis regenerasi petani muda.
Komposisi penduduk milenial di Jawa Barat mencapai 26,07 persen dari total jumlah penduduk di Jabar yang mencapai 48,27 juta jiwa. Sementara secara nasional, jumlah kelompok milenial berada di angka 25,87 persen. Dengan begitu kelompok milenial di Jabar lebih tinggi dari jumlah klasifikasi secara nasional.
Apabila dilihat dari jumlah potensinya menurut Wakil Ketua Komisi 2 DPRD Jawa Barat, Hj. Lina Ruslinawati, bisnis pertanian bisa dikatakan cukup menggiurkan. Hanya saja, pertanian menjadi salah satu bidang ekonomi yang cukup kompleks permasalahannya. Untuk regenerasi petani muda, program ini bagus. Bisnis yang cukup potensial.
“Namun harus diperhatikan rantai bisnis dan perdagangan komoditas pertanian. Karena itu masalah yang kompleks. Perlu kejelasan, seperti apa skenario jangka menengahnya,” ujar Hj. Lina Ruslinawati, kepada elJabar.com.
Program petani milenial diharapkan dapat merubah mindset anak muda soal pekerjaan tani. Misalnya mereka lebih bisa beradaptasi dengan teknologi, sehingga akan ada penemuan-penemuan baru, varietas baru, jaringan pemasaran yang lebih inovatif, gaya kemasan yang beragam, dan adaptasi pemasaran secara online yang lebih maju.
Namun selain potensial, juga harus di ingat soal tantangan milenial yang jumlahnya 26,07 persen dari total penduduk di Jabar itu. Potensi yang besar akan berbanding jika minat menjadi petani milenial kurang.
Berapa banyak potensi penduduk klasifikasi milenial yang tertarik dan mau menjadi petani milenial? Generasi milenial dihadapkan pada keseharian dan ketertarikan pada hal-hal yang bersentuhan dengan digital teknologi dan praktis. Selain mereka yang tinggal di pedesaan, jarang sekali mereka bersentuhan dengan aktivitas pertanian.
“Ini memang butuh proses yang tidak mudah untuk mengadopsikan kelompok penduduk milenial, dengan aktivitas pertanian di pedesaan. Tapi setidaknya masa depan pertanian Jawa Barat juga, bisa tambah maju dengan program ini,” ujarnya.
Kalau bicara keuntungan, semestinya usaha di bidang pertanian dapat menguntungkan. Bicara negara-negara yang masyarakatnya kaya dari sektor pertanian bisa kita lihat dari Selandia Baru, usaha pertanian dan peternakan di sana mampu membuat masyarakatnya sejahtera. Di Indonesia, kita defisit berbagai komoditas pangan, artinya di situ ada potensi pasar.
Hadirnya milenial dalam dunia pertanian, diharapkan tidak hanya merubah jumlah petani dan pelaku usaha pertanian saja, tetapi jauh dari itu ada upaya memperbaiki rantai nilai serta keuntungan menjadi petani itu sendiri.
Untuk memperbaiki keuntungan usaha pertanian menurut Hj. Lina Ruslinawati, yang juga merupakan Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jabar, problemnya tidak sedikit. Bagaimana keuntungan dari hasil jual komoditas pertanian mampu meningkatkan keuntungan yang didapat petani.
Selama ini yang menikmati keuntungan lebih besar bukan petani, tetapi pelaku usaha perdagangan komoditas pertanian. Meskipun ada banyak yang berhasil, namun kasus curhatnya petani milenial angkatan pertama yang dikejar setoran bank sehingga menjadi viral di medsos, hendaknya jadi bahan evaluasi bagi Pemprov Jabar.
“Masalah pertanian bukan hanya soal memasukan dan mendorong semakin banyak petani, tetapi juga memperbaiki jalur distribusinya atau tata niaga. Dengan harapan, harga komoditas pertanian yang terbentuk di pasar, bisa dinikmati petani,” pungkasnya. (muis)