Kronik

Berharap Hidup Layak dalam Sistem Kapitalis, Mimpi di Siang Bolong

Oleh: Fathimah Salma
(Penggiat Literasi)

Berharap hidup layak adalah fitrah manusia. Berjuang untuk memperolehnya adalah manifestasi dari fitrah tersebut. Hanya saja perjuangannya akan sia-sia selama hidup dalam sistem kapitalis sekuler.

Potret tidak harmonisnya buruh dan pengusaha seolah tidak pernah pudar. Aksi demo buruh seputar permohonan besaran gaji tak pernah surut. Reaksi keberatan dari pihak perusahaan pun tidak pernah surut. Satu sisi buruh menginginkan hidup layak dan sejahtera, di sisi lain pengusaha menginginkan keuntungan melalui menekan modal keluar diantaranya.

Setiap akhir tahun, diketok palu penetapan UMK oleh pemerintah yang diwakili kementrian tenaga kerja dan struktur di bawahnya dengan dewan pengupahan. Untuk tahun ini di Kabupaten Kuningan, Disnaker bersama Dewan Pengupahan menetapkan kenaikan UMK tahun 2022 25 ribu rupiah. Hal ini dianggap tidak sesuai oleh buruh. Karena pihak SPSI menginginkan UMK Kuningan tahun 2022 naik 200 ribu rupiah. Sementara pengusaha menolak dengan alasan pemulihan ekonomi (radarCirehon, 26/11/2021).

Nampaknya persoalan ini terjadi tidak hanya di kabupaten Kuningan. Dilansir dari CNBC Indonesia (29/11/2021) dalam judul berita “panas lagi, upah minimum 2022 Buruh-Pengusaha tidak akur”. Pasalnya kalangan buruh meminta kenaikan upah sebesar 10% yang didasarkan pada hasil survai kehidupan layak yang dilakukannya. Disisi lain pihak pengusaha tidak terima, didasarkan pada alasan tentang acuan yang dipakai buruh tidak resmi dari pemerintah.

Diwakili oleh Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz yang mengatakan bahwa tuntutan buruh yang disampaikan tidak sesuai regulasi. Karena itu hanya berdasarkan survei pasar sendiri. Di regulasi perhitungan upah minimum 2022 mengacu pada data BPS.

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan kelayakan hidup para Dewan yang diisukan mengalami kenaikan upah (baca : gaji) di tahun 2022. Sebagaimana diberitakan di laman media radarcirebon.com (26/11/2021) yang menginformasikan tentang beredarnya isu di Kabupaten Kuningan anggaran DPRD yang akan naik gaji sampai 10 juta. Yang tersingkap pada pembahasan RAPBD tahun anggaran 2022.

Jika benar berita tersebut, maka wakil rakyat Kuningan akan mengalami kenaikan pendapatan dari sekitar 30 juta lebih per bulan menjadi sekitar 40 juta lebih.

Dari sisi besaran nominal kenaikan, nampak jelas adanya jurang yang sangat dalam. Apakah nilai kelayakan hidup antara buruh dan wakil rakyat berbeda?

Pemerintah lepas tangan dalam menciptakan kelayakan hidup di sistem kapitalis

Melihatnya sungguh miris, keinginan hidup layak dari kaum buruh, selalu harus menempuh perjuangan keras. Bertemankan peluh memeras keringat setiap hari, kemudian menuntut kelayakan hidup dengan aksi demo yang pasti bertemankan peluh juga, akan tetapi hanya berujung pada mendapatkan upah minimum.

Disisi lain pihak pengusaha merasa keberatan dalam menentukan upah yang harus disesuaikan dengan tuntutan buruh akan kelayakan hidupnya. Pasalnya pengusaha harus menanggung kelayakan hidup kaum buruh. Sementara para wakil rakyat tidak perlu bertemankan peluh. Kenaikan upah didapatkannya, dengan jaminan kelayakan hidup yang langsung di tanggung oleh pemerintah. Besaran upahnya menyentuh berbagai sisi kehidupan mereka yang sungguh sangat menjamin kelayakan hidupnya lebih dari cukup.

Sebagaimana diberitakan dalam laman hukumonline.com (3/3/2021) dalam konsultasi hukum bersama Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H, MSc, yang menjelaskan tentang penghasilan pimpinan anggota DPRD terdiri atas penghasilan uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan alat kelengkapan, dan tunjangan alat kelengkapan lain. Ini semua dibebankan pada APBD. Berikut juga ada tunjangan Komunikasi intensif dan tunjangan reses. Semua uang ini akan diberikan setiap bulan pada para wakil rakyat.

Sungguh potret yang menggambarkan keironisan tentang kelayakan hidup buruh dan wakil rakyat. Padahal wakil rakyat bisa duduk di jabatannya karena peran buruh diantaranya.

Kenyataan ini wajar terjadi dan akan terus terjadi selama pemerintah menjalankan sistem kapitalis sekuler. Karena sistem ini menjadikan pemerintah bukan sebagai penjamin terwujudnya kemaslahatan masyarakat, melainkan hanya sebagai regulator saja. Kelayakan hidup buruh yang dihitung berdasarkan ketercukupan perolehan hak pendidikan, hak kesehatan, daya beli terhadap berbagai barang konsumsi, hak hunian, dan lain-lain bukan menjadi tanggung jawab pemerintah. Pendidikan yang mahal, kesehatan yang mahal, berbagai barang konsumsi yang terus bertambah mahal, dan hunian dengan berbagai konsumsinya (seperti listrik, air, dan gas) juga terus bertambah mahal. Semua itu menjadi beban para buruh yang selanjutnya dibebankan pada para pengusaha dalam penetapan upah yang harus memenuhi itu semua. Inilah mengapa hubungan buruh dan pengusaha sering tidak harmonis.

Berbagai sarana hidup yang mahal tadi adalah buah dari sistem ekonomi liberal yang merupakan turunan utama sistem kapitalis sekuler. Sistem ekonomi liberal menetapkan kebebasan kepemilikan. Berbagai aset strategis akan dijadikan sebagai ajang untuk memuasakan kepemilikan. Pendidikan adalah mesin efektif pencetak uang. Demikian juga dengan kesehatan, listrik, air, gas, dan sumberdaya alam strategis lainnya. Padahal semua itu adalah hak masyarakat.

Jika demikian berharap hidup layak pada sistem ini adalah mimpi di siang hari bolong.

Islam Penjamin Hidup Layak
Islam menetapkan pemerintah sebagai penanggung jawab terjaminnya kelayakan hidup masyarakat. Hal ini bisa dilihat melalui 4 mekanisme berikut ini;

Pertama, Islam menentapkan pendidikan, dan kesehatan sebagai hak rakyat, yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara akan berfokus pada perealisasiannya dari pembangunan infrastruktur berbagai hal yang dibutuhkannya, pengadaan guru dan para nakes, seluruh sarana yang bisa mempermudah terealisasinya hak tersebut dan lain-lain. Semua pembiayaannya dibebankan pada baitul Mal. Sehingga pendidikan dan kesehatan bisa gratis untuk masyarakat. Tidak menjadi beban masyarakat dan para pengusaha.

Kedua, Islam menetapkan seluruh sumberdaya alam strategis milik masyarakat. Islam mengharamkan negara menyerahkannya pada para pengusaha untuk diambil keuntungannya. Negara wajib mengelolanya untuk mengalokasikan hasilnya hanya untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat. Sehingga masyarakat akan mendapatkan dan menikmatinya dengan biaya terjangkau atau bahkan bisa gratis.

Ketiga, Islam menetapkan besaran upah dalam jasa berdasarkan akad antara pengusaha dan buruh. Akad dibangun berdasarkan saling ridlo. Besaran upah juga didasarkan pada keahlian, yang akan ditetapkan Oleh khubaro (ahli taksir).

Keempat, besaran upah para pegawai negara ditetapkan berdasarkan akad saling rida dengan Khalifah. Dan bidang keahlian akan menjadi penentunya. Itu berlaku hanya untuk pegawai negara. Sementara itu wakil rakyat atau majelis umah di dalam Islam bukan termasuk bagian dari pegawai negara. Majelis umah hanya merupakan wakil rakyat yang menampung aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah (khalifah dan para hukam lainnya). Majelis umat juga menjadi tim yang dijadikan tempat oleh pemerintah untuk dimintai pendapatnya. Majelis umat juga yang akan mengawal perealisasian berbagai kemaslahatan umat. Maka karena fungsinya yang memeras pemikiran, tenaga, dan waktu, pemerintah (khalifah) akan memperhatikan kesejahteraannya. Kholifah akan memberikan tunjangan hidup yang layak untuknya, sesuai dengan kebutuhannya.
Jika melihat semua mekanisme tersebut, maka kelayakan hidup masyarakat akan terwujud.

Wallahu a’lam bishshawab.

Show More
Back to top button