Daddy Rohanady: Dilema Para Kades Dalam Pembagian Dana Desa
BANDUNG, elJabar.com – Menyoal dana desa, ada sejumlah hal lain yang juga perlu penyikapan dari kepala daerah, khususnya bupati/walikota.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.7/2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.7/2019 Tentang Pengelolaan Dana Desa, secara eksplisit memerintahkan agar Dana Desa disisihkan 30% untuk bantuan langsung tunai (BLT) penanggulangan akibat Covid-19.
Memang setiap desa memiliki kelompok rumah tangga sasaran (KRTS) non-data terpadu kesejahetraan social (DTKS) yang berbeda-beda.
Para kepala desa memperkirakan, seandainya mereka mengikuti secara utuh seperti perintah PMK 40/2020, menurut Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jabar, Daddy Rohanady, bisa dipastikan bahwa masih cukup banyak warganya yang tidak akan kebagian BLT desa tersebut.
“Padahal, mereka de facto termasuk KRTS. Karena tulang punggung ekonomi dalam keluarga tersebut dirumahkan, bahkan di-PHK akibat Covid-19,” ujar Daddy Rohanady kepada elJabar.com, Selasa (12/05/2020).
Di Kabupaten Cirebon para kades yang tergabung dalam Forum Kuwu Kabupaten Cirebon (FKKC), pernah menghadap Bupati H. Imron. Mereka meminta ada peraturan bupati (Perbup) yang memperbolehkan BLT dari dana desa, besarannya tidak seperti perintah PMK 40/2020.
Kebijakan yang mirip pernah dilakukan dengan mengubah RASKIN (beras untuk masyarakat miskin) menjadi RASTA (beras dibagi rata). Diskresi ini dituangkan dalam bentuk Perbup.
Hasil kunjungan lapangan, menurut Daddy Rohanady, yang berasal dari dapil jabar-12 (Kab. Indramayu, Kab. Cirebon, Kota Cirebon), para Kades mendorong dikeluarkan pula Perkada/Perbup untuk menjadi payung hukum, bahwa besaran BLT dari dana desa tidak plek 100% seperti perintah Permendes.
“Hal ini tujuannya untuk menghindari konflik antar-warga. Mengingat banyaknya warga non DTKS yang terdata di kabupaten, tetapi tidak termasuk sebagai KRTS di Provinsi maupun Pusat,” terangnya.
Menurut Daddy, para Kades tidak mempersoalkan porsi yang 30%. Angka itu mereka setujui. Hanya saja, karena pertimbangan di lapangan, besarannya akan berbeda dengan PMK 40/2020.
Di satu sisi mereka tidak berani melawan PMK 40/2020, tetapi di sisi lain mereka harus realistis juga melihat kondisi warganya.
Yang pasti, apabila mereka ikut PMK 40/2020, artinya tetap besaran BLT desa adalah Rp 600.000 per KRTS. Itu sudah jelas menjadi problem potensial terjadinya gesekan antar-warga.
“Di sisi lain, kalau tidak mengikuti PMK, mereka khawatir akan menjadi persoalan hukum di kemudian hari. Jadi, para kuwu kini memegang buah simalakama,” pungkasnya.
Semoga segala ikhtiar yang dilakukan bermanfaat untuk anak bangsa Indonesia, yang kebetulan saja tinggalnya di Provinsi Jawa Barat. (MI)