ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com — Ada beberapa isu krusial yang menyeruak ketika membahas Rancangan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu. Perdebatan panjang kerap terjadi ketika dilakukan pembahasan pasal per pasal terkait isu-isu krusial tersebut.
Hal tersebut menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat Kasan Basari, bisa dipahami. Mengingat begitu strategisnya posisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut. Perda RTRW Provinsi nantinya akan menjadi rujukan bagi Perda RTRW kabupaten/kota.
“Dan juga Perda RTRW ini harus dijadikan pedoman dalam penyusunan perda-perda lainnya, termasuk penyusunan Perda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang akan disusun oleh setiap kepala daerah maksimal enam bulan setelah mereka dilantik,” jelas Kasan Basari, kepada elJabar.com.
Selain itu, Perda RPJMD harus menjadi dasar penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang kemudian ditindaklanjuti dalam Perda Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Perda RTRW Provinsi Jawa Barat tersebut mencakup pengaturan ruang darat dan ruang laut. Hal ini dikarenakan Perda RTRW Provinsi harus mengatur ruang Provinsi seperti itu sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Memang banyak konsekuensi dengan terbitnya UUCK yang lebih dikenal sebagai omnibuslaw tersebut. Salah satunya, di tingkat Provinsi, adalah penggabungan pengaturan ruang darat dan ruang laut,” terangnya.
Sebenarnya Provinsi Jawa Barat sudah memiliki perda yang mengatur kedua areal itu secara terpisah. Ruang darat diatur dengan Perda Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2010.
Di sisi lain, ruang laut diatur dengan Perda Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jawa Barat Tahun 2019-2039.
Perda Nomor 22 Tahun 2010 tentang RTRW sebernarnya telah direvisi pada tahun 2019. Kala itu dibentuk panitia khusus untuk merevisi. Pansus telah bekerja selama 11 bulan. Namun, hingga akhir periode DPRD Provinsi Jabar 2014-2019 berakhir, koreksi dari Pemerintah Pusat tak kunjung turun. Walhasil, revisi perda pun tidak sempat diparipurnakan.
Belum tuntas masalah revisi, sudah keburu turun UUCK dan PP Nomor 21 sebagai turunannya. Kemudian, DPRD Provinsi Jabar membentuk lagi Pansus VI yang bertugas membahas RTRW Provinsi. Dalam perda inilah Perda RTRW dan Perda RZWP3K harus digabungkan.
Selain UUCK telah terbit pula peraturan pendundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang Provinsi Jawa Barat, yakni Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan.
Seperti judulnya, Perpres 87/2021 tersebut meneguhkan beberapa hal yang pada pembahasan perda RTRW di Pansus 2019 menyita banyak waktu akibat alotnya pembahasan.
“Memang pada 2019, kealotan pembahasan tidak hanya terkait Segitiga Rebana. Banyak isu lain yang perlu pembahasan secara serius, semisal pergeseran ibu kota Provinsi Jabar dan bandara di Kabupaten Sukabumi,” ujarnya.
Bahkan isu calon bandara pun cukup menghangat, khususnya yang terletak di Kabupaten Karawang dan juga lagi-lagi di Kabupaten Sukabumi. Dimana Bandara yang semula diusulkan di Citarate, lalu bergeser ke Cikembar. Padahal ada obstacle serius di lokasi baru tersebut.
Pada pembahasan Pansus VI tahun 2022 pun, diakui Kasan Basari, ada beberapa isu menarik yang juga menyita waktu.
Misalnya terkait total luasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B). Demikian pula dengan Lahan Baku Sawah (LBS) dan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD).
“Namun demikian, persetujuan substansi memang menjadi ranah Kementerian ATR/BPN,” pungkasnya. (muis)