BANDUNG, elJabar.com — Dalam konsep perlindungan anak, Undang-Undang telah menjamin hak seorang anak sejak ia masih berada dalam kandungan. Jika si anak ternyata lahir dalam keadaan meninggal, maka hak-hak itu dianggap tidak pernah ada.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum telah memandang bayi di dalam kandungan sebagai subjek hukum yang memiliki hak-hak keperdataan.
Hak-hak anak sangatlah banyak, sepadan dengan hak penjagaan (perlindungan) untuk dirinya. Sehingga tidak berlebihan jika negara memberikan suatu perlindungan bagi anak-anak, dari perlakuan-perlakuan yang dapat mengancam masa depannya.
Perlindungan anak menurut Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jawa Barat, Cecep Gogom, yakni segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi, agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar, baik secara fisik, mental, dan maupun sosial.
“Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ini sebagai bagian dari merawat kelangsungan generasi bangsa” ujar Cecep Gogom, kepada elJabar.com.
Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahkan perlindungan terhadap anak juga harus diperhatikan dari adanya perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, yang telah membawa perubahan sosial secara mendasar dalam kehidupan masyarakat.
“Karena ini sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Sehingga perlu dilindungi dari kemungkinan adanya pengaruh negative ini,” ingatnya.
Peningkatan kualitas hidup manusia dalam pembangunan nasional suatu negara yaitu bagaimana negara tersebut mampu melakukan perlindungan terhadap rakyatnya, terutama perlindungan bagi anak. Oleh karena itu, hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Perlindungan anak harus dilaksanakan secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat, yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien.
Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali. Sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Secara garis besar, menurut Cecep Gogom yang juga merupakan Anggota Komisi 5 DPRD Jabar, perlindungan terhadap anak dapat dibagi kepada dua bagian. Pertama, perlindungan anak yang bersifat perundangan, yakni perlindungan di bidang hukum publik dan bidang hukum sipil.
“Kedua, perlindungan anak yang bukan bersifat perundangan (non-yuridis), yakni perlindungan dalam bidang perlindungan sosial, kesehatan dan pendidikan,” jelasnya.
Harus dipahami pula, bahwa perlindungan anak sangat bermanfaat bagi anak itu sendiri, orang tuanya serta pemerintahnya. Oleh karena itu, koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.
Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia.
“Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya,” pungkasnya. (muis)