Kronik

NEGARA HYPERINTEGRATION

Oleh : Radhar Tribaskoro (Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)

DALAM sistem politik modern yang ideal, terdapat pembagian kekuasaan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta keberadaan media dan masyarakat sipil sebagai pengimbang kekuasaan. Namun dalam praktiknya, terutama di negara-negara dengan kecenderungan otoriter yang tumbuh dalam kerangka demokrasi elektoral, struktur ini kerap mengalami erosi. Fenomena ini dikenal sebagai “hyperintegration,” yaitu situasi di mana diferensiasi antara lembaga-lembaga negara dan kekuatan sosial runtuh, menyebabkan presiden atau pemimpin eksekutif menjadi satu-satunya pusat pengambilan keputusan dan legitimasi. Dalam konteks hyperintegration, stabilitas politik, kepastian hukum, dan prospek demokrasi jangka panjang menjadi semakin rapuh (Levitsky & Ziblatt, 2018).

Hyperintegration terjadi ketika garis pemisah antara lembaga negara menjadi kabur dan semua fungsi kekuasaan dikonsolidasikan dalam satu figur pemimpin. Eksekutif menguasai proses legislasi melalui dominasi terhadap parlemen, menekan independensi yudikatif, memanfaatkan media sebagai alat propaganda, dan mereduksi masyarakat sipil menjadi sekadar perpanjangan tangan kekuasaan (Diamond, 2019). Dalam kondisi ini, prinsip checks and balances runtuh, dan negara cenderung bergeser menuju bentuk neo-otoritarianisme yang menyamar dalam wajah demokrasi prosedural.

Di bawah hyperintegration, parlemen tidak lagi menjadi tempat perdebatan yang sehat, melainkan menjadi perpanjangan tangan dari kehendak eksekutif. Legislasi disusun bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan atas instruksi kekuasaan tertinggi. Fungsi pengawasan legislatif lumpuh karena loyalitas politik lebih diutamakan daripada integritas institusional (Fukuyama, 2014).

Lembaga yudikatif pun tidak luput dari tekanan. Di banyak negara yang mengalami hyperintegration, penunjukan hakim-hakim tinggi dilakukan secara politis, sehingga independensi pengadilan menjadi ilusi. Keputusan hukum kerap diarahkan untuk menguntungkan kepentingan politik presiden dan sekutunya. Penegakan hukum menjadi selektif dan dijadikan instrumen untuk mengkriminalisasi oposisi serta membungkam kritik (O’Donnell, 1994).

Media, yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, juga menjadi korban hyperintegration. Di bawah pengaruh kekuasaan terpusat, media dikendalikan baik secara langsung maupun melalui kepemilikan oleh kroni politik. Media independen dilemahkan melalui sensor, tekanan ekonomi, atau kampanye delegitimasi (Freedom House, 2023).

Sementara itu, masyarakat sipil yang kuat merupakan salah satu indikator vitalitas demokrasi. Namun dalam konteks hyperintegration, organisasi masyarakat sipil mengalami depolitisasi paksa. Mereka diarahkan untuk hanya mendukung program-program pemerintah, dan dibatasi ruang geraknya ketika mencoba mengkritisi kebijakan. Aktivisme digantikan oleh loyalisme (Carothers & Brechenmacher, 2014).

Konsekuensi dari hyperintegration terhadap kestabilan politik jangka panjang sangat signifikan. Dalam jangka pendek, sistem ini mungkin tampak stabil karena semua lembaga terlihat “sejalan” dan keputusan cepat bisa diambil oleh presiden tanpa hambatan birokrasi. Namun stabilitas semu ini menyimpan bom waktu. Ketika tidak ada lembaga yang bisa melakukan koreksi internal, maka kebijakan yang keliru bisa berlarut-larut dan menciptakan krisis sistemik (Schedler, 2006).

Kepastian hukum yang menjadi landasan kehidupan bernegara juga hancur dalam sistem hyperintegration. Ketika hukum menjadi fleksibel terhadap kehendak penguasa, maka investor, masyarakat, dan institusi tidak lagi memiliki jaminan perlindungan terhadap hak-haknya. Ini menciptakan ketidakpastian yang merusak iklim investasi dan hubungan sosial. Hukum yang tidak konsisten dan mudah berubah karena alasan politik mengurangi kredibilitas negara, baik di mata warga negaranya sendiri maupun komunitas internasional (La Porta et al., 2008).

Dari perspektif ekonomi, hyperintegration berdampak serius terhadap minat investor. Investasi, baik domestik maupun asing, membutuhkan jaminan hukum yang jelas, sistem birokrasi yang profesional, dan lembaga negara yang dapat dipercaya. Dalam sistem hyperintegration, ketiganya sulit ditemukan. Ketika keputusan-keputusan ekonomi ditentukan oleh kepentingan politik jangka pendek atau loyalitas terhadap pemimpin, maka risiko usaha meningkat. Investor tidak hanya khawatir soal profitabilitas, tetapi juga stabilitas regulasi, perlindungan hukum, dan kemungkinan intervensi politik yang tiba-tiba (North, Wallis & Weingast, 2009).

Sebagai perbandingan, Vietnam merupakan negara yang menarik untuk dikaji. Meski menganut sistem satu partai dan memiliki kontrol negara yang kuat, Vietnam justru mampu menjaga konsistensi kebijakan ekonomi dan menciptakan kepastian hukum yang relatif stabil bagi investor (World Bank, 2022). Pemerintah Vietnam, meskipun otoriter secara politik, menunjukkan profesionalisme dalam mengelola ekonomi dan memperkuat daya saing globalnya. Vietnam berhasil menciptakan zona-zona ekonomi khusus, infrastruktur pendukung, serta kebijakan fiskal dan moneter yang kredibel (IMF, 2023). Birokrasi ekonomi di Vietnam cenderung lebih fungsional dan terlepas dari dinamika politik internal partai.

Artinya, meskipun Vietnam tidak menganut demokrasi liberal, negara ini belum mengalami gejala hyperintegration sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pemerintahan pusat tidak menyerap seluruh fungsi lembaga negara dan sosial ke dalam figur tunggal. Ada semacam diferensiasi institusional yang tetap dijaga, setidaknya dalam ranah ekonomi dan administratif.

Dampak yang paling serius dari hyperintegration adalah keruntuhan demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak hanya tentang pemilu, tetapi juga tentang institusi yang berfungsi, hukum yang adil, dan ruang publik yang bebas (Dahl, 1971). Ketika semua fungsi ini dibajak oleh kekuasaan terpusat, maka demokrasi berubah menjadi sekadar prosedur formal tanpa substansi.

Hyperintegration juga menimbulkan paradoks. Semakin besar kekuasaan yang dikonsolidasikan dalam satu tangan, semakin tinggi pula risiko ketergantungan sistem terhadap individu tersebut. Ketika pemimpin tersebut lengser atau kehilangan legitimasi, negara dapat mengalami kekacauan karena tidak ada institusi yang cukup kuat untuk menjaga kesinambungan (Przeworski, 2010).

Untuk mencegah atau membalikkan kondisi hyperintegration, dibutuhkan upaya sistemik yang mencakup reformasi kelembagaan dan penguatan budaya demokrasi. Lembaga legislatif perlu direvitalisasi, yudikatif harus diproteksi, media harus bebas, dan masyarakat sipil perlu difasilitasi agar dapat tumbuh sebagai pengawas yang independen (Norris, 2011).

Pendidikan politik kepada masyarakat juga menjadi penting agar warga negara tidak mudah tergiring pada kultus individu. Dengan memperkuat kesadaran publik tentang pentingnya pembagian kekuasaan dan independensi lembaga, rakyat bisa menjadi benteng terakhir terhadap kecenderungan otoritarianisme.

Kesimpulannya, hyperintegration merupakan fenomena berbahaya yang menggerogoti fondasi negara hukum dan demokrasi. Dengan mengkonsolidasikan seluruh kekuasaan ke tangan satu orang, sistem ini menciptakan pemerintahan yang cepat namun rapuh. Dari sisi ekonomi, hyperintegration menciptakan ketidakpastian hukum dan iklim usaha yang tidak sehat. Perbandingan dengan Vietnam menunjukkan bahwa kendali politik yang kuat tidak selalu berarti hyperintegration, selama ada diferensiasi institusi dan profesionalisme birokrasi. Untuk menjaga keberlangsungan demokrasi, stabilitas politik, dan kepastian hukum dalam jangka panjang, diferensiasi antara lembaga negara harus dijaga dan diperkuat. ***

Show More
Back to top button