ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Aktivitas penambangan biasanya banyak dilakukan dengan cara pembukaan hutan, pengikisan lapisan-lapisan tanah, pengerukan ataupun penimbunan. Sehingga aktivitas penambangan selalu menjadi isu krusial dalam upaya kelestarian lingkungan.
Sudah barang tentu aktivitas penambangan seperti ini menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas, pemadatan tanah, penurunan unsur hara, toksisitas unsur-unsur tertentu dan hilangnya biodiversitas mikroba. Ini adalah dampak negatif yang terdapat pada lahan bekas tambang.
Selain itu, penambangan pasir atau batuan lainnya juga meyebabkan bagian top soil atau bagian paling atas tanah telah hilang. Bagian top soil ini adalah bagian pada tanah yang memiliki tingkat kesuburan lebih baik, karena banyak terdapat bahan-bahan organik dari serasah pohon yang jatuh, yang dapat membuat mikro dan makro organisme pun ada di bagian ini.
Sehingga tanah yang kehilangan top soil membuat tanah menjadi kurang memiliki nilai produktivitas untuk dilakukan penanaman, karena dapat membuat tanaman tumbuh menjadi kurang optimal. Sehingga tanah tambang menjadi tanah yang marjinal, karena dipengaruhi oleh kegiatan penambangan yang menyebabkan hilangnya top soil yang membuat tanah menjadi miskin bahan organic.
Kegiatan tersebut jelas sangat berdampak terhadap keberadaan flora dan fauna yang ada disana. Karena menurut Anggota Fraksi Gerindra DPRD Jawa Barat, H. A. Sopyan, tumbuhan yang ada di atas lahan penambangan harus ditebang terlebih dahulu, agar pasir maupun batu dapat digali oleh pekerja tambang.
“Dengan penebangan tumbuhan, tentu akan berdampak pada fauna yang hidup didalam vegetasi tersebut. Sehingga dampaknya terjadi ketidakseimbangan ekosistem. Ini sangat merusak lingkungan disana,” ungkap H. Sopyan, kepada elJabar.com.
Bila hal tersebut terus terjadi, maka hewan maupun tumbuhan yang semestinya hidup di wilayah tersebut, akan punah. Selain hilangnya flora dan fauna yang ada diatas lahan penambangan, imbas terhadap vegetasi juga akan mempengaruhi iklim dalam skala lokal.
Secara hidrologis, lahan tambang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagai pengatur tata air. Hal ini karena terganggunya kemampuan lahan untuk menahan, menyerap, dan menyimpan air, karena tidak ada vegetasi atau tanaman penutup lahan.
Ekologi yang merupakan salah satu komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup, harus ditinjau bersama dengan komponen lain. Yakni untuk mendapatkan keputusan dan hasil yang seimbang antara elemen makhluk hidup dan lingkungan itu sendiri.
“Aspek ekologi ini merupakan salah satu aspek yang secara krusial harus diperhatikan. Terlebih dalam kaitannya dengan konteks pemanfaatan sumber daya alam,” ujarnya.
Berbagai permasalahan ekologi hingga ancaman krisis yang terjadi pada dewasa ini, secara tidak langsung tidaklah hanya disebabkan oleh faktor alam saja, namun juga faktor internal dari manusia sebagai pihak yang terus menerus berinteraksi dengan lingkungannya.
Kebutuhan hasil tambang memang sulit untuk dipungkiri, mengingat desakan kebutuhan material untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang cukup pesat.
“Maka selain proses penambangan yang harus mengikuti upaya pengendalian lingkungan, juga tahap pasca penambangan merupakan kegiatan yang harus sudah direncanakan dengan sistematis dan berkelanjutan,” jelasnya.
Tindaklanjut setelah berakhirnya sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan, keharusan untuk memperbaiki lingkungan alam dan sosial sesuai dengan kondisi setempat di sekitar pertambangan, harus segera dilakukan.
Salah satu kegiatan pasca tambang adalah reklamasi. Dimana reklamasi ini merupakan kegiatan yang dilakukan pada semua tahapan usaha pertambangan untuk menata, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas lingkungan dan ekosistem supaya berfungsi kembali sesuai fungsinya.
“Harus dilakukan reklamasi. Karena tujuan akhir dari reklamasi lahan adalah untuk memperbaiki bekas lahan tambang agar kondisinya aman, stabil, dan tidak mudah erosi. Sehingga dapat dimanfaatkan kembali,” ujarnya.
Sementara itu dampak negatif kegiatan pertambangan bisa dilihat dari adanya gangguan pada lingkungan fisik, biologis, sosial, budaya, ekonomi dan warisan nasional, serta gangguan terhadap ekologi dan pembangunan yang berkelanjutan.
Pengelolaan sumber daya pertambangan yang tidak berpedoman pada prinsip ekologi dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang tinggi. Jika melebihi daya dukung, daya tampung, dan ambang batas yang dapat dipulihkan, maka akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang permanen.
“Sehingga ancaman terhadap kerusakan lingkungan pun, sangat pasti terjadi. Mulai dari perubahan bentang alam yang besar, perubahan morfologi dan kegunaan lahan, penimbunan tanah galian dan limbah pengolahan serta jaringan infrastrukturnya,” pungkasnya. (muis)