Kronik

PRABOWO, DIPLOMASI, DAN TARIF

Oleh: Radhar Tribaskoro

Yang disebut diplomasi, kadang tidak lebih dari urusan tarif. Dan yang disebut tarif, kadang menyembunyikan perang yang tidak disebut perang.

Di Washington, Donald Trump menyambut Presiden Prabowo Subianto dengan gaya khasnya: tangan mengepal, senyum lebar, dan pujian keras yang menyamar sebagai hormat. _”He is a great and smart president,”_ katanya. Mungkin benar, mungkin basa-basi. Tapi dalam politik global, basa-basi bisa lebih tajam dari veto PBB.

Trump menyatakan telah mencapai kesepakatan dagang baru dengan Indonesia. Intinya: Amerika akan mengenakan tarif 19% atas ekspor Indonesia — sebagai kompensasi atas surplus perdagangan Indonesia yang besar (60% surplus perdagangan Indonesia berasal dari AS) dan “hukuman lunak” karena Indonesia kini bergabung dalam BRICS, sebuah blok yang sedang merancang sistem pembayaran internasional tanpa dolar. Di sisi lain, ekspor AS ke Indonesia tak dikenakan tarif, dan perusahaan-perusahaan Amerika disebut akan mendapat akses istimewa atas cadangan tembaga Indonesia.

Tiba-tiba riuh. Twitter mendesis. Grup WhatsApp berkobar. Para pengamat bicara dengan satu nada: “Indonesia kalah dalam deal itu.”

_Tapi siapa bilang diplomasi selalu soal menang dan kalah?_

Negara tidak bermain catur, melainkan berlayar dalam badai geopolitik. Dalam gelombang multipolar yang kian liar, Prabowo tampaknya tidak ingin kapal Indonesia karam hanya karena terlalu keras memegang kompas ideologis. Ia tahu arah sejarah bisa berubah, dan bahwa “adil” bukan hanya soal besaran tarif, tapi siapa yang bisa tetap berbicara dalam pertemuan puncak berikutnya.

Mereka yang mengkritik mungkin lupa: tarif 19% itu — yang dianggap “hukuman” — justru termasuk paling rendah di Asia. Banyak negara berkembang menghadapi tarif 30 hingga 50 persen saat hubungan memburuk dengan Washington. Lebih dari itu, Prabowo tetap mendapat jaminan bahwa ekspor AS tidak dibalas tarif balasan. Sebuah posisi yang membuka kemungkinan Indonesia tetap dianggap pasar strategis — bukan musuh dagang — bahkan ketika kita menggeser posisi dalam tatanan global.

_Geopolitik bukan moralitas. Tapi bukan berarti tanpa nilai._

Di tengah dunia yang sedang menggeliat menuju poros baru — antara Washington dan Beijing, antara dolar dan yuan, antara unipolar dan multipolar — Prabowo tampaknya menyadari bahwa dedolarisasi adalah keniscayaan. Tapi ia juga tahu bahwa ketergesaan bisa membunuh strategi. Maka ia tidak mengusung bendera, melainkan merawat jembatan.

Ia bertemu Ursula von der Leyen di Brussel dan menandatangani serangkaian perjanjian dagang dengan Uni Eropa. Ia memuji bangsa-bangsa Eropa sebagai pelopor demokrasi dan hak asasi manusia — bukan karena lupa masa lalu kolonialisme, tapi mungkin karena percaya bahwa pengakuan tidak harus menghapus perlawanan. Seperti Soemitro Djjohadikusumo yang menyepakati Belanda menjadi Ketua IGGI _(Inter-Governmental Group for Indonesia)_ sambil tetap menyebut mereka bekas penjajah.

_Di sinilah kompleksitas Prabowo terasa._

Ia memimpin negara yang dulu menjadi motor Gerakan Non-Blok. Yang berdiri di garis depan melawan imperialisme, tapi kini harus berdialog dengan imperium baru. Ia mewakili bangsa yang masuk BRICS, tapi tetap harus berdamai dengan WTO. Ia tahu bahwa suara Indonesia tidak besar, tapi resonansinya bisa menyebar bila ditempatkan dengan cermat.

Maka ketika ia bicara dengan Trump — presiden AS terpilih 2024-2028 yang sangat berkuasa — ia tidak menawar dengan otot, tapi dengan keperluan bersama. Ia tidak bicara tentang ideologi, tapi tentang tambang tembaga. Dalam dunia global hari ini, strategi kadang berbentuk konsesi, dan konsesi bisa menjadi jalan menuju ruang bicara.

_Apakah ini bentuk kekalahan? Atau kemenangan yang ditunda?_

Sejarah tidak menilai dari headline. Ia menilai dari kesinambungan. Jika deal dengan Trump memungkinkan Indonesia menjaga stabilitas ekspor, mendapat akses teknologi, dan tetap berada dalam orbit dialog Amerika — sambil tetap memperkuat kerja sama selatan-selatan melalui BRICS dan ASEAN — maka barangkali ini bukan kompromi, tapi kecerdikan realis.

Prabowo sedang menulis babak baru diplomasi Indonesia — bukan dengan suara keras, tapi dengan kalkulasi tenang. Ia tahu bahwa si vis pacem, para bellum tidak cukup lagi. Dunia yang ingin perdamaian, hari ini, harus bersiap untuk keadilan. Maka diplomasi bukan lagi soal mengancam dengan tarif atau senjata, tapi membangun kepercayaan di antara lawan yang curiga.

Dan kadang, kepercayaan dimulai dari tarif 19%. ***

Show More
Back to top button