Strategi Memenuhi Target PAD Jawa Barat 2025

ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Target PAD Jawa Barat 2025 senilai Rp 19,3 triliun, menjadikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus memeras otak lebih keras lagi. Mengingat PAD ini menjadi sector penting dalam membiayai pembangunan daerah.
Upaya ini bukan semata mengejar angka, melainkan memperkuat kapasitas fiskal daerah agar semakin mandiri dan tidak terlalu tergantung pada alokasi transfer pusat.
Sekretaris Komisi 3 DPRD Jawa Barat, H. Heri Ukasah Sulaeman, S.Pd., M.SI., M.H., menyampaikan gagasan-gagasan strategis untuk mendorong realisasi PAD, sekaligus menegaskan fungsi pengawasan legislatif agar efektivitas dan keadilan anggaran tetap dijaga.
Data per semester I 2025 menunjukkan bahwa realisasi PAD Jawa Barat baru mencapai sekitar 44,72 % dari target yang ditetapkan dalam APBD.
Berdasarkan catatan pemerintah provinsi, proyeksi PAD 2025 untuk provinsi saja adalah Rp 19,3 triliun, sementara untuk kabupaten/kota di Jawa Barat mencapai sekitar Rp 38 triliun.
Namun, realisasi ini juga menandai perlambatan dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya.
Berbagai faktor menjadi hambatan, antara lain tunggakan pajak kendaraan bermotor yang memerlukan kebijakan pemutihan dan penagihan intensif. Keterlambatan penerapan inovasi dan sistem administrasi perpajakan di kabupaten/kota. Rendahnya pemanfaatan potensi pajak-pajak strategis di luar PKB (pajak reklame, pajak air permukaan, retribusi usaha). Kurang optimalnya sinergi antara Pemprov dan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan koordinasi dan pengawasan.
“Serta risiko birokrasi, regulasi yang berubah-ubah, dan hambatan teknis dalam tata kelola pendapatan daerah,” ujar Heri Ukasah, kepada elJabar.com.
Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan besar, bagaimana strategi yang tepat untuk menggenjot PAD agar target Rp 19,3 triliun dapat tercapai?
Menurut Heri Ukasah, sejumlah usulan strategi dan penguatan mekanisme pengawasan agar realisasi PAD bisa lebih optimal, perlu didorong sinergi provinsi-kabupaten/kota lewat skema kolaboratif
“Kolaborasi vertikal dan horisontal harus diperkuat. Provinsi perlu membantu kabupaten/kota dalam peningkatan kapasitas SDM pengelolaan pajak, transfer teknologi sistem informasi perpajakan, serta monitoring terpadu. Harmonisasi kebijakan dan standarisasi prosedur harus dibangun agar daerah-daerah yang belum mumpuni tak tertinggal,” jelasnya.
Kemudian pemanfaatan teknologi informasi, seperti aplikasi pajak daerah, integrasi sistem Samsat / P3DW, dashboard live monitoring, agar proses pembayaran, penagihan, dan kontrol menjadi lebih cepat, transparan, dan akuntabel.
“Inovasi ini akan meminimalkan kebocoran administratif dan mempermudah wajib pajak melakukan kewajiban,” katanya.
Berikutnya menurut Heri Ukasah, kebijakan pemutihan dan insentif berkala, seperti pengurangan bunga atau denda dalam periode tertentu, harus diatur secara jelas dengan batas waktu dan ketentuan agar tidak menimbulkan moral hazard.
“Pemutihan harus bersifat strategis dan hanya untuk mendorong pembayaran tunggakan, bukan membuka celah, kebiasaan menunggak,” imbuhnya.
Selain itu, juga pentingnya pendampingan UMKM agar mereka naik kelas, lebih produktif, dan terintegrasi dalam ekosistem digital dan pasar yang lebih luas. Dengan demikian, pertumbuhan aktivitas ekonomi di daerah berdampak pada peningkatan potensi pajak daerah.
Promosi dan dukungan terhadap kegiatan ekonomi lokal—seperti pasar digital, expo produk daerah, dan penguatan branding daerah—juga merupakan bagian dari strategi memperluas basis penerimaan.
Heri menyoroti bahwa regulasi pusat yang sering berubah, terutama regulasi perpajakan dan fiskal daerah, kerap menjadi hambatan pelaksanaan di daerah.
“Oleh karena itu, kita mendorong agar Pemprov Jabar lebih aktif dalam dialog dengan kementerian/lembaga pusat untuk memperoleh fleksibilitas atau penyesuaian kebijakan,” pungkasnya. (muis)







