BANDUNG, elJabar.com — Masalah backlog masih menjadi masalah utama dari penyediaan perumahan di Indonesia, terutama di Provinsi Jawa Barat. Angka backlog dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Tingginya angka backlog perumahan terjadi karena beberapa faktor, diantanya besarnya pertumbuhan jumlah penduduk, ketidakterjangkauan harga perumahan oleh masyarakat, swasta tidak mau berinvestasi untuk penyediaan perumahan MBR karena harga lahan tinggi, dan banyak lagi masalah lainnya.
Pada masa mendatang jumlah di Provinsi Jawa Barat ini akan semakin tinggi, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan KK akibat terbentuknya keluarga-keluarga baru.
Oleh karena itu menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, Daddy Rohanady, perlu kebijakan holistik dan komprehensif untuk mengurangi ketiadaan ketersediaan rumah atas jumlah kebutuhan rumah yang cenderung semakin tinggi.
“Hal ini terutama pemenuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” ujar Daddy, kepada elJabar.com.
Kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang adalah kebutuhan terhadap papan. Papan dalam hal ini adalah kebutuhan akan rumah tempat tinggal yang layak, baik dari segi fisik, fasilitas maupun lingkungannya.
Terdapat beberapa kriteria rumah tinggal yang harus dipenuhi, sehingga dapat dikategorikan ke dalam rumah yang layak huni sebagai tempat tinggal. Kriteria tersebut diantaranya yaitu rumah yang memiliki dinding terluas yang terbuat dari tembok atau kayu, dengan beratapkan beton, genteng, sirap, seng maupun asbes, dan memiliki lantai terluas bukan tanah.
Selain luas lantai, indikator lain yang digunakan untuk melihat kualitas perumahan untuk rumah tinggal adalah penggunaan atap dan dinding terluas. Selanjutnya kondisi yang sama juga terjadi pada bangunan rumah tinggal yang menggunakan dinding terluas tembok dan kayu, sudah lumayan meningkat.
“Lalu berikutnya, kelengkapan fasilitas rumah tinggal. Karena fasilitas ini, juga akan menentukan kualitas dan kenyamanan rumah tinggal. Fasilitas-fasilitas tersebut adalah tersedianya air bersih, sanitasi yang layak, serta penerangan yang baik,” ungakpnya.
Sementara ini, Pemerintah tengah berjuang mengatasi masalah defisit atau backlog perumahan yang disebabkan tidak seimbangnya antara pasokan (suplai) dan permintaan (kebutuhan).
Upaya pemerintah untuk mewujudkan percepatan penyediaan hunian layak bagi masyarakat dan mengurangi backlog perumahan periode 2015-2019, dilakukan melalui Program Satu Juta Rumah.
Namun, realisasinya dalam tiga tahun terakhir selalu di bawah target. Pada 2015, sebanyak 699.770 unit, tahun 2016 sebanyak 805.169 unit, dan tahun 2017 sebanyak 904.758 unit. Sedangkan untuk tahun 2019, jumlah rumah yang sudah dibangun sebanyak 736.187 unit.
“Jumlah masyarakat yang membutuhkan rumah lebih banyak dari pasokan rumah yang bisa disediakan tiap tahun. Sehingga untuk mengatasi persoalan backlog perumahan ini, diperlukan sejumlah terobosan,” jelasnya.
Pelaksanaan Program Satu Juta Rumah terdiri atas pembangunan rumah susun sewa (rusunawa), rumah khusus, dan rumah swadaya dengan dana yang bersumber dari APBN dan APBD.
Kemudian rumah umum oleh pengembang, yang difasilitasi atau disubsidi lewat APBN melalui skema KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan subsidi selisih bunga, dan bantuan uang muka, serta rumah yang dibangun pengembang tanpa subsidi.
“Capaian pembangunan rumah dalam program ini, tiap tahun didominasi oleh pembangunan rumah masyarakat berpenghasilan rendah,” ungkapnya.
Realisasi pembangunan perumahan yang di bawah target tak lepas dari sejumlah tantangan yang dihadapi. Untuk menambah pasokan rumah layak huni terutama yang terjangkau oleh MBR, tantangannya adalah tingkat keterjangkauan MBR masih rendah. Baik membeli rumah dari pengembang, membangun secara swadaya maupun meningkatkan kualitas rumah yang tidak layak huni.
Minimnya anggaran yang dimiliki oleh pemerintah dalam APBN/APBD untuk mengatasi permasalahan backlog perumahan, itu bisa disiasati dengan meminta bantuan atau kerjasama dengan sejumlah pihak swasta.
“Pemerintah bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta, untuk berpartisipasi menyiapkan hunian layak huni, khususnya bagi para MBR,” sarannya.
Dari sisi aksesibilitas, tantangannya adalah akses MBR ke sumber pembiayaan perumahan (lembaga keuangan) untuk mendapat kredit pemilikan rumah (KPR) masih terbatas. Selain itu, sumber dana pembiayaan perumahan masih bersifat jangka pendek, sehingga tidak dapat meng-cover untuk KPR yang bersifat jangka panjang.
Tantangan lainnya yang cukup berat juga menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jabar, adalah persoalan terbatasnya lahan murah bagi MBR, khususnya di wilayah perkotaan. Saat ini sangat sulit mendapatkan lahan di perkotaan untuk perumahan. Kalaupun ada, pasti harganya selangit dan sulit dijangkau oleh pengembang.
“Masalah ini membuat hampir semua pengembang enggan membangun hunian murah, lantaran ketersediaan tanah untuk pengembangan hunian MBR di sejumlah wilayah strategis semakin langka,” pungkasnya. (muis)