BANDUNG, elJabar.com — Rencana Tata Ruang Wilayah diharapkan menjadi pedoman bagi semua pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor/bidang, serta mengakomodasikan pembagian peran dengan kabupaten/kota dan bersifat saling melengkapi serta selaras sebagai matra spasial bagi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) serta rencana pembangunan lainnya.
Terlihat adanya keseimbangan rencana struktur ruang wilayah yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana wilayah. Namun dalam implementasinya menurut Anggota Fraksi Gerindra Jawa Barat, Daddy Rohanady, sering berbeda.
“Sehingga masih terdapat berbagai isu strategis, yang perlu ditangani secara sistematis. Yaitu mengenai alih fungsi lahan serta perkembangan kawasan permukiman,” kata Daddy Rohanady, kepada elJabar.com.
Pertumbuhan penduduk di Jawa Barat ternyata telah memicu perubahan tata guna lahan, dikarenakan adanya peningkatan kebutuhan akan pangan, sandang dan papan. Hampir semua lahan yang cocok untuk pertanian di Jawa Barat sudah diolah secara intensif.
Hutan yang terbatas di dataran tinggi telah diperuntukkan bagi areal perlindungan daerah tangkapan air, meskipun juga telah banyak berubah menjadi wilayah pertanian dan permukiman.
Di wilayah pantai, sebagai akibat tekanan penduduk, hutan bakau yang demikian luas sudah terpakai habis atau diubah untuk kepentingan-kepentingan lain, berubah menjadi persawahan, pertambakan ikan dan udang.
Masalah aktual yang terjadi di dataran tinggi di Jawa Barat sekarang adalah perambahan hutan, termasuk ke dalam hutan lindung, perubahan besar atau konversi lahan sawah beririgasi untuk permukiman dan industri yang sebagian besar terkonsentrasi di sekitar perkotaan, telah menimbulkan berbagai masalah terhadap lingkungan perkotaan.
“Seharusnya kebijakan penataan ruang wilayah Jawa Barat tidak terlepas dari kebijakan visi dan misi Jawa Barat, dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat,” ujarnya.
Untuk itu penataan ruang ke depan harus mampu secara optimal mensinergikan faktor ekonomi, faktor ekologis, faktor alokasi ruang secara proporsional, faktor pendekatan keterpaduan, dan faktor dinamika pendapatan penduduk.
Dimana asas penataan ruang adalah pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Asas lainnya adalah keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
“Dan harus di ingat, bahwa proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada kondisi sumberdaya alam, kualitas lingkungan dan faktor kependudukan,” tegasnya.
Hasil pemantauan beberapa kota di Jawa Barat menunjukkan bahwa aturan dalam UU Penataan Ruang bisa mencegah terjadinya alih fungsi lahan di luar perencanaan. Tetapi praktek di lapangan sangat tergantung pada kondisi dan permasalahan daerah tersebut serta aturan-aturan yang ada.
Sehingga pelibatan masyarakat merupakan strategi yang sangat penting dalam pengendalian alih fungsi lahan, karena perubahan fungsi lahan paling banyak terjadi pada lahan yang dikuasai perorangan.
“Dan selain itu, untuk mengatasi hal tersebut pemerintah daerah perlu membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan alih fungsi lahan,” ujarnya.
Seperti kita ketahui, bahwa kota merupakan lambang peradaban kehidupan manusia, sebagai pertumbuhan ekonomi, sumber inovasi dan kreasi, pusat kebudayaan dan wahana untuk peningkatan kualitas hidup.
Permasalahan kota yang sangat komplek, menimbulkan gagasan pembentukan kota berkelanjutan. Yaitu kota yang dalam perkembangan dan pembangunannya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global dengan mempertahankan keserasian lingkungan, vitalitas sosial, budaya, politik dan pertahanan keamanannya, tanpa mengabaikan atau mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
“Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan. Yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan,” terangnya.
Sementara itu, terkait dengan penataan ruang menurut Daddy Rohanady yang juga merupakan Anggota Komisi 4 DPRD Jabar, perlu diperhatikan juga kondisi ruang terbuka hijau (RTH) serta kondisi lingkungan hidup lainnya.
Menurunnya kualitas permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang terbuka untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.
“Sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 % dari total luas kota,” ujarnya.
Namun tampaknya bagi kota-kota di Indonesia pada umumnya, hal ini akan sulit terealisir akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota.
Mulai dari pembangunan bangunan gedung, pengembangan dan penambahan jalur jalan yang terus meningkat, serta peningkatan jumlah penduduk.
“Isu tersebut harus direspon secara cepat oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan dengan menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan,” pungkasnya. (muis)