Saluran Irigasi Mataram, Urat Nadi Perkembangan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta

JOGJAKARTA, eljabar.com — Di tengah tantangan besar dalam pengelolaan irigasi berupa perubahan tata guna lahan dan tuntutan modernisasi, Saluran Mataram tetap hadir dengan memiliki arti filosofis sebagai urat nadi perkembangan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Saluran Mataram merupakan warisan budaya yang dalam perkembangannya telah menjadi saksi sejarah masa penjajahan Belanda dan Jepang, sekaligus perjuangan Republik Indonesia. Saluran ini memiliki arti penting dari sisi pemanfaatan sumber daya air, juga dalam aspek konservasi, utamanya menghadapi tantang perubahan iklim dan urbanisasi.
Demikian salah satu poin penting yang disampaikan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak Dwi Purwantoro saat menjadi keynote speaker pada acara webinar bertema “Saluran Irigasi Mataram dalam Perspektif Teknis, Sejarah dan Budaya”, Senin (16/8). Acara ini juga diselenggarakan dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-76.
“Pagi ini, kami mengajak kita semua untuk mengenal kembali Saluran Irigasi Mataram, bukan Selokan sebagaimana yang dikenal masyarakat pada umumnya, namun fitrahnya sebagai Saluran Irigasi. Saluran ini menghubungkan Sungai Progo di barat dan Sungai Opak di timur. Saluran yang dibangun pada masa penjajahan Jepang ini menyimpan berjuta cerita, makna dan nilai budaya yang sangat menarik untuk kita pelajari bersama,” tutur Dwi.
Kepala BBWS Serayu Opak juga menjelaskan bahwa akan dilaksanakan perbaikan Saluran Mataram yang direncanakan berlangsung hingga tahun 2023. Perbaikan ini tidak hanya mempertimbangkan faktor teknis semata, namun juga aspek estetis dan sejarah. Hal ini salah satunya terlihat dari rencana untuk menggunakan pasangan batu, bukan beton.
“Kami berharap untuk membangkitkan kembali semangat kepemilikan dan kebanggaan terhadap Saluran Irigasi Mataram sebagai ikon warisan budaya yang memiliki nilai plus dalam mengisi pembangunan. Semoga apa yang kita lakukan hari ini akan menjadi bahan untuk membentuk mindset generasi masa depan,” harap Dwi.
Sementara itu, Guru Besar Teknik Sipil dan Lingkungan UGM Budi Santosa Wignyosukarto selaku narasumber menjelaskan bahwa dari sisi sejarahnya Saluran Mataram mulai dibangun pada masa pendudukan Jepang di Yogyakarta, dengan tujuan mencegah pengiriman rakyat Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk menjadi romusha (tenaga kerja paksa). Pembangunan tersebut merupakan inisiatif Sultan Hamengkubuwono IX untuk mewujudkan proyek besar yaitu melanjutkan Saluran Mataram pada bagian hulu untuk menciptakan daerah irigasi yang lebih luas.
Ke depan, Saluran Mataram menghadapi banyak tantangan, di antaranya perubahan tata guna lahan pertanian menjadi permukiman maupun industri, kerusakan jaringan saluran tersier, serta air tanah yang semakin susut. Tantangan lainnya adalah pengaruh perubahan iklim, peningkatan populasi, serta tuntutan bahwa nilai air harus semakin meningkat (efektif dan efisien).
Untuk itu, Budi Santosa mengusulkan perlunya penerapan Smart Irrigation System sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik di antara para pengguna air sekaligus menghasilkan pengelolaan yang efektif dan efisien. (ifn/anm)