Wacana Provinsi Bandung Raya: Cermin Ketidakmampuan Elit Politik dan Pengkhianatan Terhadap Sejarah Jawa Barat

BELAKANGAN ini, muncul wacana pembentukan Provinsi Bandung Raya, yang disampaikan oleh Bupati Bandung, Dadang Supriatna, saat Rapat Paripurna Hari Jadi ke-384 Kabupaten Bandung. Ide ini muncul dengan berbagai dalih: efektivitas pemerintahan, percepatan pembangunan, dan pemerataan ekonomi.
Namun jika ditelaah lebih dalam, wacana ini tidak hanya tidak efisien, melainkan juga mencerminkan ketidakpahaman terhadap sejarah dan filosofi pembentukan Jawa Barat. Lebih parah lagi, kalau ide ini muncul merupakan indikasi kuat sebagai alat pragmatis elit yang tidak mampu bersaing secara sehat, khususnya untuk menghadapi figur kuat seperti Dedi Mulyadi dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2029 mendatang.
Sejarah dan Filosofi Jawa Barat: Sebuah Kesatuan Budaya
Sejak zaman kolonial, wilayah yang kini disebut Jawa Barat sudah memiliki identitas yang sangat kuat sebagai “Tatar Sunda.” Identitas ini bukan hanya soal batas administratif, melainkan juga peradaban, budaya, bahasa, dan filosofi hidup. Jawa Barat lahir dari keterpaduan nilai agraris, kearifan lokal, serta struktur sosial berbasis komunitas. Membelah wilayah ini semata-mata atas dasar pertimbangan administratif adalah sebuah penghinaan terhadap kesatuan historis dan kultural yang telah dibangun selama ratusan tahun.
Bandung, dalam konteks ini, bukanlah entitas terpisah. Bandung adalah jantung pergerakan nasional, rumah bagi Konferensi Asia Afrika, pusat pendidikan, serta simbol dinamika sosial Sunda modern. Menganggap Bandung bisa berdiri sendiri tanpa keterkaitan historis dengan Purwakarta, Sumedang, Cianjur, dan daerah sekitarnya, adalah sikap ahistoris yang mengabaikan realitas kultural.
Argumen Efisiensi: Sebuah Mitos
Munculnya gagasan mengusung pemekaran provinsi baru, biasanya tidak jauh dari alasan efisiensi pemerintahan sebagai tameng utama. Namun dalam praktiknya, pemekaran wilayah di Indonesia justru sering menghasilkan sebaliknya: pemborosan anggaran, penumpukan birokrasi, dan konflik kewenangan. Studi Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa lebih dari 80% daerah pemekaran baru bergantung pada dana pusat dan gagal membangun kemandirian fiskal.
Membentuk Provinsi Bandung Raya akan membutuhkan pembentukan lembaga-lembaga baru, dari DPRD hingga dinas-dinas pemerintahan. Ini berarti biaya tinggi untuk gedung baru, gaji pegawai baru, hingga berbagai infrastruktur administratif. Belum lagi potensi perebutan aset dan konflik perbatasan. Dalam situasi keuangan negara yang sedang tertekan, memaksakan lahirnya provinsi baru adalah tindakan tidak bertanggung jawab.
Elit Politik dan Ketidakmampuan Bersaing
Ada ironi besar dalam wacana pembentukan Provinsi Bandung Raya, tampaknya bukan soal pembangunan, melainkan soal politik elektoral. Dedi Mulyadi, dengan rekam jejaknya sebagai Bupati Purwakarta dan anggota DPR RI, kini menjadi figur kuat yang diprediksi akan mendominasi Pilgub Jabar 2029. Dalam berbagai survei, elektabilitas Dedi Mulyadi konsisten tinggi, berkat kedekatannya dengan masyarakat akar rumput dan narasi kultural Sunda yang ia bangun.
Sebaliknya, mungkin banyak elit di wilayah Bandung merasa terpinggirkan. Mereka sadar, bertarung di level Jawa Barat berarti menghadapi “raksasa” politik yang sulit dikalahkan. Maka solusi yang mereka tempuh adalah “menciptakan gelanggang baru”: Bandung Raya, di mana mereka berharap bisa lebih berkuasa tanpa harus berhadapan langsung dengan dominasi Dedi Mulyadi.
Dengan kata lain, wacana ini adalah bentuk pengakuan tidak langsung atas ketidakmampuan bersaing secara fair dalam kontestasi demokratis.
Bandung Raya: Provinsi Elit, Bukan Provinsi Rakyat
Jika ditilik lebih lanjut, wacana membentuk Bandung Raya tidak pernah lahir dari bawah. Tidak ada gelombang besar dari rakyat yang menuntut provinsi baru. Sebaliknya, ide ini datang dari atas, yakni dari politisi atau birokrat yang merasa akan lebih diuntungkan jika struktur pemerintahan dirombak.
Ini bertolak belakang dengan semangat otonomi daerah yang sesungguhnya, yaitu memperkuat peran serta rakyat dalam pemerintahan. Bandung Raya akan menjadi provinsi elit, dibentuk demi memuaskan ambisi kelompok kecil, bukan untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat.
Risiko Perpecahan Sosial dan Budaya
Membentuk provinsi baru tidak sekadar mengganti papan nama. Ini berarti menciptakan identitas baru, membangun simbol-simbol baru, dan pada akhirnya berpotensi meretakkan solidaritas kultural masyarakat Sunda. Bayangkan jika identitas “Sunda” dikerdilkan menjadi sekadar entitas administratif kecil. Ini akan memutus kesinambungan sejarah yang sudah ratusan tahun terjalin.
Bukan tidak mungkin, di masa depan, fragmentasi ini akan melahirkan konflik horizontal berbasis sentimen lokalitas. Jawa Barat akan kehilangan kekuatan kolektifnya, terpecah menjadi kantong-kantong kecil yang lebih mudah dipecah-belah, baik secara ekonomi maupun politik.
Alternatif: Penguatan Bukan Pemekaran
Daripada memecah wilayah, solusi nyata untuk mengatasi ketimpangan pembangunan di Jawa Barat adalah dengan memperkuat kapasitas pemerintahan daerah. Bandung, sebagai pusat provinsi, bisa memperbaiki manajemen kota, memperluas kerja sama dengan kota-kota penyangga, serta membangun model integrasi metropolitan tanpa harus memutuskan ikatan administratif dan kultural dengan Jawa Barat.
Metropolitanisasi tidak harus berarti pemekaran administratif. Lihat model Tokyo atau London: kawasan urban besar tetap berada dalam satu entitas pemerintahan, dengan pengelolaan kolektif dan partisipatif.
Menolak Politik Pecah Belah
Wacana pembentukan Provinsi Bandung Raya harus dilawan. Ini bukan hanya soal efisiensi administratif atau soal siapa yang akan menjadi gubernur. Ini soal menjaga martabat sejarah, mempertahankan solidaritas budaya, dan melindungi rakyat dari manipulasi elit politik yang haus kekuasaan.
Kita harus sadar bahwa Jawa Barat lebih besar dari sekadar kepentingan elektoral sesaat. Jawa Barat adalah tanah perjuangan, tanah budaya, tanah persatuan. Membelahnya demi ambisi pribadi adalah bentuk pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan.
Di tengah derasnya politik pecah belah, kita harus berdiri teguh mempertahankan warisan leluhur: Satu Jawa Barat, satu Tatar Sunda, satu solidaritas untuk masa depan yang lebih baik.
Penulis adalah Dani Dardani, Pendiri Yayasan Saung Wai, Aktivis Lingkungan, Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik