ADIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, elJabar.com – Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi pertambangan, yang tersebar hampir di seluruh kabupaten. Baik berupa mineral logam, mineral bukan logam maupun batuan.
Potensi ini tentunya menarik minat para pelaku usaha dan masyarakat sekitar untuk mengelola dan memanfaatkan hasil bahan galian tambang tersebut. Dan para pelaku usahapun beragam, dari skala kecil, menengah, bahkan menengah keatas pun tertarik untuk melakukan kegiatan pertambangan, dikarenakan bisnis ini sangat menguntungkan.
Kegiatan usaha tambang memang diperlukan dalam menunjang pembangunan fisik. Namun menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jabar, H. Kasan Basari, dalam pelaksanaannya sering menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, seperti terjadi banjir dan longsor.
“Maka dampak dari aktivitas penambangan ini, tentunya akan berakibat dan merugikan masyarakat dan lingkungan sekitar. Baik materil maupun keselamatan jiwa,” ujar Kasan Basari, kepada elJabar.com.
Kerusakan lahan sebagai dampak eksplorasi oleh para pelaku usaha/kegiatan pertambangan khususnya galian C di Jawa Barat, sedikit banyak telah merubah kondisi area kawasan lahan yang dulu terjaga kelestariannya.
Berdasarkan amanat Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sepertinya implementasi sektor pengawasan berupa pembinaan dan sanksi oleh perangkat terkait, masih sangat lemah.
Padahal dalam perijinan tercantum kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan teknik penambangan yang sesuai dan mengelola dampak lingkungan, serta melakukan pemulihan lingkungan
Melihat kondisi seperti ini, menurut Kasan Basari, sebaiknya Dinas Lingkungan Hidup beserta Dinas terkait lainnya, perlu juga melakukan pendekatan lain.
“Selain penerapan sanksi bagi pelanggar ijin, juga bisa dilakukan pendekatan lain. Misalnya, mengadakan kegiatan Workshop, khusus tentang Pengendalian dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan Usaha Pertambangan,” jelasnya.
Kegiatan tersebut tentunya melibatkan para stakeholder terkait dan pelaku usaha pertambangan galian C, yang selama ini selalu dituding sebagai penyebab terjadinya kerusakan lingkungan tanpa adanya usaha untuk mereklamasi kembali menjadi potensi ekonomi lainnya.
Pada kegiatan workshop yang diikuti dari stake holder terkait bersama pelaku usaha tambang galian C tersebut, bisa membuat kesepakatan antara beberapa pihak untuk meminimalisir celah yang ada.
Banyak celah yang dimanfaatkan oknum, dari semua peraturan yang dikeluarkan yang sekiranya berpotensi menimbulkan dampak kerusakan lingkungan bagi pelaku usaha lainnya, lingkungan ataupun masyarakat sekitar.
Maka workshop ini juga harus menghasilkan data jumlah pelaku usaha pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan, sekaligus melakukan upaya perbaikan dan pengendalian kerusakan lahan di Jawa Barat, untuk meningkatkan Index Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) Provinsi Jawa Barat.
“Tentu saja kegiatan tersebut diharapkan bisa meningkatkan ketaatan semua pihak, dalam mematuhi ijin dan dokumen lingkungan yang telah dikeluarkan,” katanya.
Sangat diperlukan pemahaman serta perhatian yang serius oleh para pelaku usaha untuk melakukan teknik penambangan yang benar. Para pelaku harus dapat mengurangi laju kerusakan lingkungan, utamanya yang disebabkan oleh kegiatan penambangan.
Upaya meminimalisasi dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan ini sangat penting dilakukan secara intens dan berkesinambungan.
“Serta salah satu hal terpenting adalah melakukan reklamasi bekas tambang sesuai dengan fungsi lahan. Maka diharapakan tidak akan terjadi lagi adanya lahan-lahan kritis akibat kegiatan penambangan,” pungkasnya. (muis)