Tenaga Kerja dan Persoalan Pengangguran di Jawa Barat

BANDUNG, elJabar.com — Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk paling besar di Indonesia 46,09 juta jiwa. Sementara itu berdasarka data BPS 2020 jumlah angkatan kerjanya sekitar 24,21 juta jiwa dengan didasarkan pada struktur yang terdiri atas penduduk, penduduk usia kerja dan bukan usia kerja.
Penduduk usia kerja terbagi atas angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Contoh penduduk yang bukan angkatan kerja, yakni ibu rumah tangga, mahasiswa, para pensiunan. Kemudian golongan angkatan kerja terbagi dua, yang bekerja dan sedang mencari pekerjaan.
“Permasalahan jumlah pengangguran di wilayah propinsi Jawa Barat menjadi isu sentral yang harus dicarikan solusinya dengan cara yang tepat,” ujar Anggota Komisi 5 DPRD Jawa Barat, Ricky Kurniawan.
Penumpukan pengangguran yang paling banyak tersebar di beberapa kabupaten, diantaranya Bandung, Bogor, Bekasi dan Cirebon. Solusi yang paling dimungkinkan yakni dengan melakukan peningkatan sektor usaha padat karya. Dikarenakan rata-rata tingkat pendidikannya masih rendah, kebanyakan SMP ke bawah.
Namun ada juga jumlah pengangguran dengan tingkat pendidikan lulusan SMA, SMK maupun Sarjana. Hal ini dapat diakibatkan oleh sistem dan pola pendidikan yang hanya bersifat teoretis semata, tanpa memperdulikan aspek-aspek praktis, serta hubungan dengan sektor usaha.
“Bagi lulusan perguruan tinggi terutama dari ilmu-ilmu sosial, sebaiknya diberikan pembekalan khusus yang berkenaan dengan persiapan sebelum dan setelah lulus,” ujar Ricky, yang juga merupakan Ketua Fraksi Gerindra DPRD Jabar.
Menurut Ricky Kurniawan, ada beberapa hal yang menjadi elemen penting guna menunjang keberhasilan masyarakat dalam memperbaiki nasib hidupnya. Yakni, Pemerintah, Dunia Usaha, Dunia Pendidikan dan Masyarakat. Keempat elemen ini, diharapkan dapat bersama-sama secara sinergis saling membantu agar dapat mengurangi beban dalam masalah pengangguran.
Semua lulusan perguruan tinggi diharapkan dapat berkontribusi luas di tengah-tengah masyarakat dalam hal menyumbangkan ide dan pemikiran. Kemudian berbagi keilmuan hasil investasinya, dengan tidak hanya dalam hubungan pekerjaan sebagai seorang pegawai/karyawan saja. Namun mampu juga dalam melakukan wirausaha secara mandiri.
Ketika suatu lowongan pekerjaan sulit ditembus atau dicapai, maka mengapa tidak dengan berusaha menggiring para lulusan perguruan tinggi tersebut berwirausaha sebagai solusi alternatif yang dipilih.
“Kita dorong untuk memulai suatu usaha, dari hal yang paling kecil terlebih dahulu hingga besar, sebagaimana urutan suatu jenjang wirausaha. Yakni, mulai tingkat Mikro-Kecil-Menengah,” jelasnya.
Tingkatan mikro merupakan suatu rintisan memulai usaha (start-up business) bisa dilakukan mahasiswa ketika belum lulus, yakni dengan melakukan uji coba bisnis melalui wadah inkubator bisnis yang berada di tiap-tiap perguruan tinggi.
Jika hal ini dapat diterapkan secara berkesinambungan dengan melihat bakat- bakat wirausaha muda dan didukung tim pendampingan wirausaha handal dan kredibel, maka tentunya akan dapat memunculkan paradigma berfikir yang baik bagi sektor dunia usaha baru.
“Sehingga dalam benak para lulusan perguruan tinggi tidak selalu berusaha untuk mencari pekerjaan, namun lebih dari itu yakni menciptakan lahan pekerjaan baru sebagai solusi alternative,” terang Ricky, penuh harap.
Untuk program penyaluran tenaga kerja berkaitan dengan sistem penempatan tenaga kerja baru, selama ini dilakukan melalui pameran-pameran bursa kerja guna mempertemukan antara orang yang sedang mencari pekerjaan dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja.
Sementara untuk perluasan kerja dimiliki oleh orang-orang yang tugasnya menciptakan pekerjaan baru dengan berjiwa wirausaha mandiri. Seperti Balai Latihan Ketransmigrasian & Kewirausahaan Disnaker Provinsi Jawa Barat bertugas membimbing serta mengarahkan para pelaku usaha dengan rintisan usaha barunya.
“Yang paling memungkinkan bagi lulusan baru suatu perguruan tinggi adalah dengan cara mengarahkan serta mendorongnya kepada alternatif usaha melalui wirausaha mandiri. Hal ini, dikarenakan keilmuan serta pola paradigmanya masih mudah untuk dibentuk,” katanya.
Sebaiknya juga perlu dipikirkan kerjasama khusus yang dilakukan antar kabupaten/daerah dengan sifat lintas wilayah. Karena bagi wilayah kabupaten yang memiliki tingkat UMK tinggi, maka siap-siap akan didatangi oleh penduduk pencari kerja dari kabupaten tetangganya dengan tidak dibatasi oleh persyaratan tertentu.
“Hal ini tentu saja dapat dikatakan wajar terjadi, sebab setiap orang bebas menentukan nasibnya sendiri, sehingga akan menimbulkan tingkat urbanisasi antar daerah menjadi semakin meningkat,” tukasnya.
Dari sisi kependudukan, jumlah migrasi orang-orang yang datang ke wilayah Jawa Barat ternyata lebih tinggi dibandingkan arus migrasi yang keluar dari Provinsi Jawa Barat. (muis)